![]() |
Ilustrasi Edukasi di Sekolah (AI) |
Tasikmalaya, 29 Desember 2024 – HIV bukanlah topik yang baru, tapi temuan kasus terbaru di kalangan pelajar usia 15 hingga 19 tahun menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya memahami dan menangani masalah ini. Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya menemukan bahwa penularan HIV pada pelajar ini terjadi akibat hubungan sesama jenis. Kasus ini membuka mata kita semua bahwa HIV tidak mengenal batasan usia atau status sosial. Ini adalah masalah yang harus kita hadapi secara terbuka dan tanpa ketakutan.
Soni Syarief, pengelola program Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya, menyatakan bahwa penemuan ini adalah sinyal peringatan keras bagi kita semua. "Pencegahan HIV harus dimulai dengan edukasi yang jelas dan komprehensif, terutama di kalangan pelajar. Kalau tidak, kita akan terus berhadapan dengan situasi yang lebih buruk di masa depan,” ujarnya.
Meskipun stigma tentang HIV dan AIDS sering mengarah pada stereotip dan ketakutan yang tak berdasar, Soni mengingatkan bahwa penularan HIV hanya terjadi melalui cairan tubuh seperti darah, sperma, cairan vagina, dan udara susu ibu. "HIV tidak menular lewat salaman, pelukan, atau berbagi alat makan. Sayangnya, masih banyak orang yang tidak tahu hal ini dan justru menutup diri terhadap mereka yang terinfeksi," lanjutnya.
Program ini berfokus pada peningkatan edukasi di sekolah-sekolah, bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat. Kenapa? Karena pelajar adalah kelompok yang paling rentan terpengaruh oleh informasi yang mereka terima, baik yang benar maupun yang salah. Dengan memberikan pengetahuan yang akurat tentang HIV, diharapkan mereka bisa melindungi diri dan teman-temannya dari potensi penularan.
Namun, meskipun pengobatan dengan antiretroviral (ARV) telah membantu banyak orang yang terinfeksi HIV untuk hidup lebih lama dan lebih sehat, pencegahan tetap menjadi prioritas utama. Jika HIV bisa dicegah dengan pengetahuan yang tepat, mengapa kita tidak mengedukasi sejak dini? Sebuah perubahan sikap dimulai dengan keberanian untuk berbicara terbuka.
Asep Abul Rofiq, Ketua LBH Ansor Kabupaten Tasikmalaya, mengungkapkan bahwa salah satu masalah utama dalam penanggulangan HIV adalah stigma yang kuat terhadap mereka yang terinfeksi. "Kita masih melihat banyak orang yang terinfeksi HIV dijauhi, padahal mereka bukan ancaman. Mereka perlu dukungan dan pemahaman, bukan diskriminasi," jelas Asep. Menghapus stigma ini adalah langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi mereka yang terinfeksi.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, sejak Januari hingga November 2024, terdapat 1.330 kasus HIV dengan 248 kematian, sebagian besar akibat hubungan sesama jenis. Di luar itu, kelompok yang berisiko tinggi juga mencakup pekerja seks, waria, ibu hamil, dan pasien TBC. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi dengan langkah preventif yang lebih kuat, bukan dengan pembungkaman atau ketakutan.
"Kita harus menerima kenyataan bahwa HIV ada di sini, di tengah-tengah kita. Jangan tunggu sampai ada lebih banyak kasus seperti ini, baru kita terkejut. Edukasi harus terus berjalan. Pengobatan sudah ada, tapi pencegahan tetap yang utama," kata Uus Supangat, Kepala Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Uus menekankan bahwa pencegahan tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak saja. Pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan harus bekerja sama dalam meningkatkan pemahaman tentang HIV.
Melalui peningkatan skrining, pengawasan yang lebih ketat, dan edukasi yang terus menerus, Tasikmalaya bisa mengurangi angka penularan HIV. Terlebih lagi, jika kita bisa membangun budaya yang lebih terbuka dan tidak mudah menghakimi. Jika masyarakat lebih memahami HIV dan cara penularannya, maka langkah-langkah pencegahan bisa lebih efektif, dan stigma akan berkurang.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Mulailah dengan berbicara tentang HIV tanpa rasa takut. Pendidikan yang benar adalah kunci untuk mengubah persepsi dan mencegah penyebaran lebih lanjut. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung mereka yang terinfeksi, tanpa stigma, tanpa diskriminasi, dan yang lebih penting, dengan pemahaman yang lebih baik.
Di Tasikmalaya, ini bukan hanya soal angka-angka dalam statistik kesehatan. Ini tentang manusia, tentang pelajar yang berhak hidup sehat dan mendapatkan edukasi yang tepat. Tidak ada lagi waktu untuk menunggu atau berdiam diri. Sekarang adalah waktunya untuk bergerak, untuk mencegah, dan untuk memberikan dukungan tanpa syarat.
Sumber : https://www.metrotvnews.com/read/NxGCzrP5-hiv-serang-kalangan-pelajar-di-tasikmalaya-penularan-akibat-seks-sesama-jenis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar