![]() |
Ilustrasi : Fenomena Kemunculan Gas Metana di TPA Ciangir |
Fenomena kemunculan gas metana di permukaan tanah sanitary landfill di TPA Ciangir, Kota Tasikmalaya, menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dari Indonesia Green Movement (IGM). Bagi sebagian orang, ini adalah ancaman serius; bagi sebagian lainnya, ini adalah peluang yang belum dimanfaatkan.
Menurut Direktur Eksekutif IGM, Muhamad Rafi Faza, gas metana adalah salah satu gas rumah kaca yang sangat berkontribusi pada pemanasan global. Namun, ironisnya, gas yang “muncul dari sampah” ini sering kali dianggap tidak penting oleh banyak pihak.
“Bayangkan saja, satu ton sampah saja dapat menghasilkan 50 kilogram gas metana. Jika dibiarkan begitu saja, gas ini bisa memengaruhi kesehatan masyarakat sekitar dan memicu krisis lingkungan yang lebih besar. Tapi, jika kita cerdas, ini bisa menjadi ‘emas baru’ dalam bentuk energi,” ujar Faza.
Ancaman bagi Lingkungan dan Kesehatan
Gas metana, berdasarkan laporan Compendium of Chemical Hazards: Methane (2019) dari Public Health England, dapat menyebabkan pengurangan kadar oksigen di udara. Dampaknya? Tidak main-main: dari sakit kepala, muntah-muntah, hingga kehilangan memori.
Kondisi ini menjadi alarm bagi masyarakat sekitar TPA. Faza bahkan secara tegas menyebutkan bahwa jika tidak ada langkah konkret dari Pemerintah Kota Tasikmalaya, masalah ini bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian.
“Gas metana bukan sekadar asap tak terlihat. Ini adalah ancaman nyata. Jika kita diam, kita hanya menunggu waktu untuk bencana,” tambahnya.
Gas Metana: Dari Masalah Menjadi Solusi
Namun, seperti dua sisi mata uang, gas metana bukan hanya ancaman. Dengan teknologi yang tepat, ia bisa menjadi energi baru terbarukan (EBT). Dalam konteks ini, Kota Tasikmalaya memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor inovasi energi di Priangan Timur.
“Teknologi sudah ada. Gas metana bisa diubah menjadi listrik, bahan bakar alternatif, atau sumber energi lainnya. Ini adalah peluang besar yang seharusnya tidak kita sia-siakan,” kata Faza.
Langkah konkret yang diusulkan mencakup investasi teknologi konversi gas metana, pelatihan SDM, hingga kemitraan dengan sektor swasta yang fokus pada energi terbarukan.
Mendorong Evaluasi dan Inovasi Pemerintah
Faza tidak ragu untuk menyarankan evaluasi terhadap Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya jika tidak ada upaya signifikan untuk menangani gas metana ini. Menurutnya, tanggung jawab pemerintah bukan hanya tentang “menanggulangi,” tetapi juga “mengolah” potensi ancaman menjadi solusi.
“Jika kepala dinasnya diam saja, berarti kita sedang menghadapi masalah kepemimpinan. Kepedulian itu harus diwujudkan dalam langkah konkret, bukan sekadar wacana,” tegasnya.
Momentum untuk Berubah
Gas metana di TPA Ciangir adalah peringatan keras bahwa pengelolaan sampah tidak bisa dianggap remeh. Kota Tasikmalaya tidak hanya membutuhkan inovasi, tetapi juga keberanian untuk mengubah ancaman menjadi berkah.
Masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha harus bersinergi. Karena jika tidak, Ciangir hanya akan menjadi cerita klasik tentang potensi yang hilang – ancaman yang dibiarkan menguap begitu saja, bersama gas metana yang merusak atmosfer kita.
Ini bukan sekadar tentang sampah. Ini adalah tentang masa depan kita. Pertanyaannya, apakah kita akan tetap diam, ataukah kita akan bergerak untuk menjadikan TPA Ciangir sebagai titik awal revolusi energi baru Tasikmalaya?
Sumber : Ilustrasi Gambar AI, https://radartasik.id/2025/01/02/kemunculan-gas-metana-di-tpa-ciangir-kota-tasikmalaya-ancaman-atau-peluang/2/, dan https://aliansizerowaste.id/2023/11/23/bahaya-di-balik-menumpuknya-gas-metana-di-tpa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar